Untuk pertama
kalinya Slamet dan ke-empat kawannya tiba di sebuah kota Megapolitan (Jakarta).
Mereka tiba dengan menggunakan kereta api, sebuah model transportasi massal
yang banyak dipilih masyarakat khususnya di Indonesia sebagai kendaraan umum
yang digunakan untuk berpergian. setelah
tiba di stasiun Kota Jakarta, timbul sebuah perasaan panik yang menghinggapi
benak mereka.
"ris,
kita keluar stasiun lewat mana nih?" ucap Slamet panik.
"pake tanya,
yah lewat pintu lah, masa lewat kantung doraemon. hahahaaa" sambung Budi
"udah lo
diem aja, ini gue lg mikir" jawab Haris kesal.
"kaya
jawab soal ujian aja lo ris pake mikir, ujian aja nyontek masa mau keluar
stasiun aja pake mikir, udah ikutin orang lain aja toh mereka juga mau pada
keluar kan? bukan mau gelar koran di sini?" sambung Sopyan sambil berjalan
cepat mendahului yang lainnya.
Akhirnya mereka
berlima pun berjalan mengikuti orang-orang (baca, Penumpang) yang turun dari
gerbong kereta bersama mereka berlima.
Tidak lama
kemudian langkah Sopyan terhenti. “tunggu-tunggu bentar sob...” serentak membuat
langkah kaki teman-teman yang lainnya pun ikut terhenti, seperti segerombolan
pasukan paskibrata.
" ini
rombongan orang-orang kok jadi kebagi dua gini, gue jadi bingung" sambung Sopyan.
"nah lo
tanya ke kita, kan tadi lo yang bilang ikuti aja penumpang lain, lah sekarang
lo bingung, lantas gue mesti apa? Kayang?" ujar Slamet kepada Haris.
"kita
liat aja papan petunjuk, ga usah pasang tampang kebingungan gtu, di Jakarta
bisa jadi inceran orang yang ga bener" ujar Dadang.
"lah kalo
tampang si Slamet sih tampang melas, mana ada yang mau jailin dia, yang ada
pada ngasih receh ke dia, di kira pengemis" sambung budi.
sambil
menjendulkan kepala budi, Slamet pun menjawab.
"sial lo
ris, gue udah diem nih, masih aja di bully"
toilet, tiket,
keluar (exit) dalam hati Dadang membaca papan
tulisan yang ada disekelilingnya.
"itu woy,
itu sebelah kiri ada tulisan keluar" teriak Dadang.
"ah
sugesti lo aja kali dang" sambung Sopyan.
"bentar-bentar,
sebelah kanan juga ada tulisan keluar dang" celetuk Haris.
"lo
jangan bikin galau gue dong ris, linggis mana linggis" seru Dadang.
"udah ah,
lewat mana aja, yang penting keluar stasiun aja dulu" ucap Sopyan.
"yakin
nih kita pilih yang mana aja? gue ga mau coba nentuin pilihan dengan asal, buat
anak kok coba-coba" sambar Budi.
"lah org
kaya lo masih mau di bilang anak-anak? malu sama jenggot embe noh" celetuk
Sopyan.
"itu sih
bukan jenggot embe, tapi akar beringin. hahahaaa" ujar Slamet sambil
memegangi perutnya untuk menahan tawa.
Akhirnya mereka
pun memilih jalan sebelah kiri pintu keluar dari stasiun kota (Stasiun Beos).
* * *
Plaaaaakkkkkkkkk.....
suara tamparan tangan Slamet pada kepala bagian belakang Dadang yang terdengar
riuh.
"aaahhhh,
knp lo met?" teriak Dadang.
"lo ga
usah planga-plongo kaya anak ayam yg kehilangan emak nya" bisik Slamet.
"hahahahahahahaaaaa"
terdengar suara tawa dari yang lain.
"kenapa
lo pada ketawa?" lanjut Slamet.
"yah
gimana mau ga ketawa, lo mau penggal kepala si Dadang juga ga ngefek, tampang
dia emang gitu" sahut Haris.
"lagian
kalo emang dia di jailin preman disini, tinggal bilang, dia bukan temen kita
bang, beres kan?" lanjut Budi.
"hahahahahaaaaahaaa"
mereka pun tertawa terbahak-bahak kecuali Dadang yang hanya meratapi nasibnya
menjadi bahan bercandaan teman-temannya.
"sssssssssstttttttt......."
suara dari Slamet yang langsung mengheningkan tawa mereka.
"kenapa
met?" tanya Budi sambil celingak-celingukan kepalanya
“lo ngomong
sama siapa bud? Kepala lo udah kaya boneka yang di dasbor mobil” tanya Haris
“sial lo,
boneka yang di dasbor mobil kan ngangguk, lah gue kan celingak-celinguk”
“hahahaaa....
apa bedanya Budi?”
"
udah-udah jangan ribut aja lo pada, noh liat di pintu keluar ada banyak orang
tampang preman" sambung Slamet.
"udah
bersikap kalem aja, anggap patung pancoran" ucap Sopyan dalam rasa panik.
“itu sih
gantengan tampang patung pancoran dari pada tampang orang yang di pintu”
“hahahaa...”
tawa Budi terhempas begitu mendengar kata-kata Slamet.
Ketika mereka
sedang berjalan untuk keluar stasiun, tiba-tiba salah seorang dari lelaki yang
bertampang preman itu berjalan dan menahan bahu Slamet.
"ssstttoooooooppppp"
ujar lelaki bertampang preman itu sedikit berteriak.
Sementara yang
lain tetep berjalan keluar stasiun, Slamet yang dengan hati bergetar pun menghentikan
langkah kakinya mengikuti perintah lelaki bertampang preman tersebut.
Slamet pun yang kaget langsung merasa panik dan
bergumam pelan 'ada apa ini? kenapa mesti gue? apa salah gue? Apa Syahrini udah
ga pake jambul lagi? Yaaa, tuhan tolong baim'.
Lalu dia pun
mencoba beranikan diri berbicara pada lelaki bertampang preman itu.
"i....iiyaaa
bangg, ada apa??" ucap Slamet dengan gagap.
"iihhh
situ cucok deh" jawab preman bertampang preman itu sambil memegang dagu Slamet.
"astaghfirullah,
amit-amit" gerutu Slamet merasa geli.
"eh
ganteng, tuh gantungan kunci kamu jatuh" sambil menunjukan tangannya ke
arah gantungan kunci Slamet yang terjatuh.
"oh yah,
terimakasih bang, eh ses, eh bang" ucap Slamet sambil memungut gantungan
kuncinya yang terjatuh dan langsung berlari mengejar teman-temannya yang telah
keluar stasiun terlebih dahulu.
* * *
Tag :
Cerpen
0 Komentar untuk "Slamet dan kawannya Part 2"